Andrea dan Alice tidak berpikir dua kali untuk berlibur ke Tanjungpinang. Di sini, mahasiswa asal Inggris tidak sekadar bersenang-senang. Tapi mereka juga ikut mengajar bahasa Inggris sebagai sepasang guru tamu. Kehadiran mereka bikin suasana belajar semakin seru.

Andrea dan Alice mahasiswa asal Inggris, yang sedang menempuh kelas jauh di Australia sedang menjalani masa liburan musim panasnya di Tanjungpinang. Pilihan tujuan ini merupakan rekomendasi dosen mereka. Nick Long, yang juga merupakan penulis, menjadi salah satu alasan sepasang mahasiswi tadi menyisakan waktu berliburnya selama lima hari untuk berada di Tanjungpinang.

“Kami membaca bukunya, lalu kami menanyakan apakah ide yang bagus untuk dapat pergi ke Tanjungpinang,” kisah Alice menceritakan awal mula rasa penasarannya akan kota Gurindam tersebut.

Jawaban Nick Long selanjutnyalah yang membuat mereka lantas memutuskan untuk mengambil penerbangan langsung menuju Tanjungpinang setelah sempat mengunjungi beberapa kota besar di Indonesia untuk berlibur. Namun pada kesempatan berlibur ini juga, Andrea dan Alice turut memutuskan untuk meluangkan waktu, berinteraksi langsung dengan pelajar di Tanjungpinang.

Zulkifli, guru bahasa Inggris SMP Negeri 5 Tanjungpinang, yang awalnya menanyakan kesediaan kedua mahasiswi Inggris ini untuk menjadi guru tamu di kelasnya.

“Sulit untuk memberikan gambaran mengenai native speaker, tanpa menghadirkan native speaker itu sendiri untuk berinteraksi langsung kepada anak-anak. Maka itu, ini kesempatan yang sangat bagus bagi perkembangan berbahasa mereka,” tutur Zul kepada Batam Pos beberapa saat sebelum kelas dimulai, Senin (16/1).

Zul, demikian sapaan guru bahasa Inggris kelas IX ini, mengharapkan kedatangan Andrea dan Alice dapat memotivasi para siswanya agar semakin bersemangat untuk mempelajari bahasa Inggris. Dan yang tak kalah penting juga agar mendapatkan pola pikir lebih terbuka, sehingga memiliki keberanian untuk mencapai apa pun yang mereka inginkan.

“Pola pikir remaja Barat ini lebih berani, dalam hal meraih cita-cita dan keinginan mereka. Hal inilah yang saya harap dapat menular kepada mereka. Sehingga tidak membatasi diri untuk menterjemahkannya menjadi aksi, mengenai apa yang sebenarnya mereka inginkan untuk kehidupan yang lebih baik,” tutur Zul sembari berkeliling memperlihatkan perpustakaan kebanggaan sekolahnya.

Kehadiran Andrea dan Alice, menghadirkan warna tersendiri bagi para pelajar untuk mempelajari hal-hal yang baru bagi mereka. Memiliki keberanian untuk menyapa langsung dan bercengkerama dengan warga yang berbicara bahasa asing, merupakan salah satu hal baru yang juga mereka pelajari.

Hal ini terlihat, ketika Andrea dan Alice menunggu waktu mengajar di ruang perpustakaan, beberapa siswa hanya berani sebatas melintas di depan perpustakaan sembari melihat keduanya. Hingga beberapa saat kemudian, satu siswi yang terus-terusan di dorong oleh teman lainnya, memberanikan diri masuk ke dalam perpustakaan dan memperkenalkan diri.

Alice dan Andrea lantas berusaha menyapanya dengan ramah dan hati-hati, agar ketakutan si anak tak kian membuncah. Selang beberapa waktu kemudian, beberapa siswi lainnya menarik kursi menyusul pembicaraan mereka.

“Do you want to come and join us?” ajak Andrea pada segerombolan siswa yang sedari tadi menguping di sudut perpustakaan untuk bergabung.

Setelah beberapa kali bujukan Andrea lontarkan, barulah mereka memberanikan diri menarik kursi mendekati Andrea yang memiliki wajah oriental ini.

Percakapan kecil dan ringan mewarnai perkenalan beberapa siswa yang akhirnya berani berinteraksi langsung dengan kedua warga asing ini. Sementara sebagian lainnya, masih memilih untuk menonton interaksi dari luar ruangan. Dari percakapan ini pun, tak hanya siswa siswi Zulkifli yang mempelajari hal baru. Namun juga sebaliknya, Andrea dan Alice mendapatkan kesempatan untuk mengetahui hal lebih dalam mengenai kehidupan remaja di Indonesia.

Bel jualah yang kemudian menjadi pengingat, bahwa Alice dan Andrea masih harus menjalankan tugasnya siang itu di SMP 5 ini. “Aaaahhh.. Aku masuk kelasmu ya. Tapi diam-diam aja nanti,” canda salah satu siswa yang belum mendapatkan kesempatan untuk dapat diajar langsung oleh Alice dan Andrea kepada teman sebelahnya.

Mengikuti Zulkifli, Andrea dan Alice yang menuju kelas yang akan mereka masuki, mengaku gugup namun bersemangat mengisi kelas pertama mereka selama di Indonesia. Nyatanya perasaan yang sama pun dirasakan para siswa siswi kelas IX E ini, yang akhirnya berteriak kegirangan sembari bertepuk tangan.

“Hi i’m Andrea and this is my friend Alice,” tutur Andrea dengan aksen Inggrisnya yang kental memperkenalkan diri. Sembari sesekali membenarkan letak kacamata tebalnya, Andrea melanjutkan perkenalannya di depan para siswa kelas IX E siang itu.

Perkenalan berjalan singkat dari keduanya, berhubung dua remaja putri ini langsung meleparkan kesempatan kepada 36 siswa SMP Negeri 5 Tanjungpinang yang beruntung itu.

Para siswa yang pada hari tersebut, sebagaimana jadwal pelajaran mereka mendapatkan pelajaran Bahasa Inggris dibuat terkesima dengan bahasa Inggris yang diucapkan langsung oleh orang Inggris asli itu.

“Apa katanya?,” bisik beberapa siswa kepada teman sebangkunya yang kurang menangkap pernyataan si remaja bule. Berhubung para siswa merasa dua remaja tadi berbicara terlalu cepat dengan aksen yang jarang, bahkan bagi sebagiannya, belum pernah mereka dengar.

Mempermudah interaksi dan membuatnya menjadi lebih akrab, kelas lantas dibagi menjadi dua kelompok dengan membentuk lingkaran. Dan pada hari itu, Andrea dan Alice mendapatkan misi untuk mengajarkan siswanya untuk bercerita.

“We are going to learn about story telling,” tutur Alice yang mengikat satu rambut pirangnya, membuka percakapan di lingkarannya.

Selama 45 menit kemudian Andrea dan Alice berceloteh dengan bahasa Inggris kepada siswa-siswi tersebut. Dan meski terbata-bata, mereka memberanikan diri untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada keduanya.

Mulai dari pertanyaan serius mengenai topik pembelajaran mereka, yang mendapatkan penjelasan panjang dari Andrea di kelompoknya. Hingga pertanyaan menggelitik, mengenai status, yang membuat wajah Alice bersemu merah.

“Bukankah kamu terlalu muda untuk saya?” ujar Alice tertawa, dibarengi tawa yang tak kalah heboh dari para siswa.

Berinteraksi dengan berbahasa Inggris dengan para siswa yang jarang menggunakan bahasa Inggris menurut Andrea, merupakan hal baru baginya. Andrea menuturkan, sebagian besar dari mereka memiliki keinginan yang tinggi untuk berinteraksi secara langsung. Namun lantaran tidak terbiasa dan juga berhubung mereka masih dalam proses memperkaya kata-kata dalam bahasa Inggris, akhirnya mereka kembali berinteraksi dengan bahasa Indonesia.

“Tapi bagian terbaiknya, ketika teman-temannya di dalam kelompok berusaha membantu mereka kata-perkata dalam menterjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Sehingga akhirnya yang dari tidak bisa menjadi bisa berbahasa Inggris dengan saya,” ucap Andrea.

Hal yang tak jauh berbeda juga dirasakan Alice. Siswi di kelompoknya bahkan sangat pemalu. Sehingga di awal mereka enggan untuk mengeluarkan pendapatnya. Namun pertanyaan yang terus dilemparkan Alice pada kelompok, membuat yang tadinya memilih diam, juga berkeinginan menyampaikan pendapat mereka.

“Beberapa dari mereka ada yang sempat berinteraksi sebelum berada di kelas. Itu kenapa, dukungan dari teman yang sudah mencoba, akhirnya membuat siswa yang lain berani berbicara kepada saya,” kisah Alice sebelum akhirnya berpamitan kepada para siswa yang telah diajarnya.

Melihat siklus yang ada, Andrea dan Alice mengaku setuju, bahwa hal yang perlu ditekankan pada siswa siswi ini, hanyalah waktu untuk membiasakan diri bercakap-cakap dengan bahasa Inggris.

“Mereka bisa ngobrol mengenai hal keseharian mereka, atau apa saja yang mereka inginkan. Dengan memasangkan satu siswa yang lebih mahir dengan siswa yang belum terlalu mahir. Sehingga mereka bisa membantu satu sama lain, dengan cara yang lebih menyenangkan,” saran Andrea.

Ia memandang, teknik tersebut dirasa lebih mudah dan menyerap bagi para siswa.

Begitu pula halnya yang dirasakan siswa-siswi tersebut. Juliana, dan Fransisca yang mengaku senang dengan kesempatan yang mereka dapatkan. Kesulitan untuk berkomunikasi diakui mereka lantaran jarang menggunakan bahasa tersebut. “Kami jarang berbicara bahasa Inggris dan juga jarang mendengarkan bahasa itu dituturkan langsung. Apalagi logat Inggris,” tutur remaja berambut panjang ini.

Harris dan Harjono pun mengaku gugup, untuk memulai percakapan. “Lidah seperti kaku mau pas mau ngobrol pertama. Tapi lama-lama kami jadi terbiasa,” tutur Harris sembari tersenyum, sehingga tak tampak bola matanya.